Cinta adalah anugerah, demikian kata banyak orang, setuju saja, karena memang dengan cinta semua jadi lebih indah. Oleh karenanya, saat jatuh cinta perasaan yang ada hanyalah bahagia, sesedih apapun ujung-ujungnya adalah bahagia, dengan catatan cinta yang sepenuh hati, bukan cinta buta. Cinta yang saya maksud disini adalah cinta antara laki-laki dan perempuan, bukan yang lain, karena cinta sungguh luas penjabarannya.
Setiap orang hampir semua pernah jatuh cinta, disadari maupun tidak. Pun demikian dengan saya. Saat jatuh cinta adalah momen dimana logika kadang tak jalan, hati tertutupi perasaan-perasaan aneh, sedih dan bahagia hanya beda tipis. Saya tahu rasa itu, dulu.
Patah hati adalah jatuh cinta paling indah, karena saat inilah orang bisa banyak belajar. Terkesan lucu memang, tapi minimal pernyataan ini pernah berlaku buat saya, beberapa tahun yang lalu.
Saya pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan, serius, dia adalah teman kerja. Semua baik-baik saja, karena kami saling percaya, dan tentu saja kami saling jatuh cinta. Hingga tiba saat orang tuanya mempertanyakan keseriusan saya dan memberi dua opsi: melamar atau jaga jarak!.
Pilihan yang serba sulit, karena meski sudah siap secara lahir, tapi saya berfikir belum siap secara bathin, masih ada yang mengganjal, terutama terkait materi, saya dalam posisi belum dapat pekerjaan lagi setelah kontrak kerja sebelumnya habis. Apa boleh buat, saya pilih opsi jaga jarak, walau berat.
Awalnya baik-baik saja, semua berjalan seperti yang kami harapkan. Hari berganti bulan terus berjalan, ternyata terpaan demi terpaan tak luput menggoyang keyakinan kami. Lebih tepatnya keyakinan dia, karena saya masih setia dengan perkataan yang pernah terucapkan dulu. Kerikil-kerikil terasa lancip, tapi saya terus bertahan, meskipun jarang ada komunikasi. Saya masih menganggap dia sebagai kekasih, dan kukuh dengan pendirian bahwa suatu ketika akan kembali dengan keseriusan, melamar dia.
Singkat kata, hampir satu tahun berselang, saya datang kembali dengan niat yang pernah saya utarakan dulu. Saya akan melamarnya. Dengan penuh keberanian, siang menjelang sore saya sampai kerumahnya, setelah menempuh perjalanan lumayan jauh karena dari luar kota. Sambutan masih biasa, seperti dulu, setelah lama tidak bertemu. Jamuan makan dengan lauk ikan lele, saya masih ingat, sambil ngobrol kesana kemari, sesekali mengingat masa lalu.
Pada puncaknya, saya nyatakan niat saya. Singkatnya seperti ini: "Seperti pernah ku sampaikan dulu, aku serius dengan hubungan kita. Aku datang untuk menepati kata-kataku, menunaikan niat yang pernah kuucapkan dulu. Aku ingin melamarmu!". Terkejut dia, setengah kebingungan sepertinya.
Saya sudah siap dengan apapun jawabannya. Ikhlas. Karena dulu pernah saya sampaikan kepadanya bahwa mencintai tidak harus memiliki, mencintai adalah meletakkan kebahagiaan kita diatas kebahagiaan orang yang kita cintai. Artinya bahwa apapun keputusannya saya harus ikhlas dan ikut berbahagia.
Dan benar. Jawaban yang dia sampaikan cukup menyesakkan: "maaf mas, sudah seminggu kami berproses". Gubrakkkk! Saya coba untuk tetap tenang, seminggu yang lalu sudah ada laki-laki lain yang mendahului meminangnya, saya tetap tersenyum kepadanya, meski getir. Aiiihhh, siapa yang tidak terkejut? Setelah sekian lama mempertahankan komitmen dan meluruskan niat, ketika saya rasa semua siap, tapi nyatanya cinta harus bertepuk sebelah tangan.
"Sebelum putus benang, layang-layang masih dalam kendali satu tali ikatan. Tapi sayang, sebuah hubungan bukanlah layang-layang".
Sudah. Tak ada yang perlu dipersalahkan, harus saya terima dengan lapang dada sebagai seorang laki-laki. Apa mau dikata, mungkin inilah yang terbaik. Dia bukan jodohku, dan aku bukan yang terbaik baginya. Sesederhana itu. Saat pesta pernikahannya saya pun datang, tak menjadi soal. Saya ingin menyaksikan kebahagiaan orang yang saya cintai. Karena saya harus ikut berbahagia dengan kebahagiaannya.
Waktu berlalu, hari berganti. Tahun berjalan, kami hidup dalam kebahagiaan kami masing-masing, tak ada kontak sekian lama, karena dia sudah berganti nomor HP. Hingga suatu ketika, entah angin apa yang menghembuskan kabar hingga kami akhirnya bisa bertegur sapa kembali, meski hanya lewat telpon. Saya lupa darimana kami saling mendapatkan nomor HP, tapi intinya kami bisa berkomunikasi kembali.
Tidak ada bahasan serius, kami tahu posisi kami masing-masing. Dalam bercanda akhirnya kami tahu perasaan masing-masing, ada penyesalan, tapi semua sudah terlambat. Kami sudah menemukan dunia kami masing-masing. Sempat terlontar gurauan untuk meminjam mesin waktunya Doraemon, sekedar merubah satu keputusan, tapi nyatanya itu hanyalah kesia-siaan. Buat apa disesali? Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat hamba-Nya.
Cinta tetaplah cinta. Sayang tetaplah sayang. Yang membedakan hanyalah dimensi, dimana hati meletakkan rasa dalam tempat yang seharusnya. Patah hati adalah jatuh cinta yang paling indah, karena mencintai adalah meletakkan kebahagiaan kita diatas kebahagiaan orang yang kita cintai.
___________