Taman Seribu Taman

Aku berada disebuah taman indah yang aku sendiri menamainya Taman Seribu Taman. Di tempat yang indah ini aku bagai terkurung di sebuah lautan yang berkali–kali ombak dan badai menghantamku. Bunga- bunga yang bermekaran menjadikan aku terpesona dan enggan untuk melepaskan tatapan dari pemikatnya.

Taman Seribu Taman telah menghujamkan seribu tanya dan mengekang aku dan kebebasanku. Sekuntum kembang yang harum yang aku namakan kembang Ani Sri Rejeki telah menjadikan aku seorang pemikir, yang dengan semampuku memilih dan memilah serta menjadikannya bagian dari resahku.

Kembang Ani Sri Rejeki telah membukakan mataku dan mata hatiku bahwasannya cinta itu pada hakekatnya adalah kesejatian, pemantapan rasa akan desahan getar–getar dan menjadikan hati sebagai guru yang memaparkan makna cinta sebenarnya.

Aku adalah bagian dari hampa, yang oleh ketidaktahuanku aku menyebut diriku sendiri pemimpi. Namun betapa bunga Ani Sri Rejeki yang mekar di Taman Seribu Taman telah membelalakkan indera penglihatanku ini bahwa rasa itu adalah hati, bukan kosong semata.

Duh bunga nan cantik, aku itu bukanlah siapa–siapa, aku adalah aku yang ingin menjadi diriku sendiri, bukan siapa–siapa.

Bukankah kamu sendiri telah mengerti bahwasannya jiwa–jiwa yang terhanyut dalam rasa cinta telah terhanyut dalam rasa cinta telah mengincarmu dan telah memberikan kesanggupan untuk menyunting serta mencurahkan hatinya utuh untukmu, namun mengapa musti aku yang bukan apa–apa ini engkau buat kalang kabut dengan desahan–desahan yang aku sendiri masih ragu namun tak ingin mergukannya, lalu aku harus bagaimana?.

Adakalanya aku goyah terhempas derasnya arus, aku terhanyut dalam kelupaan dan engkau tiba-tiba menyeruak dengan kearifan, menebarkan wewangian kesekujur diri ini.

Jika saja aku boleh bertanya, mungkin akan kupertanyakan tentang kesanggupan hati untuk mengayomi hati yang lain. Akan kupertanyakan tentang keikhlasan jiwa menuntun jiwa yang lain. Dikala langkahku gontai mau menuntun, mau menjadi penuntun dan bukan hanya penonton. Ada disaat tiada, hadir disaat dibutuhkan, tersenyum dikala luka, bersama dalam kebersamaan.

Bunga, oh bunga. Aku adalah sosok yang aku sendiri malu menyebut diriku kekasih, aku lemah dalam ketiadaan, gontai dalam sapuan gelombang, aku belum mampu tegak berjalan. Maka, tuntunlah aku bunga nan indah, ajari aku untuk menjadi seorang laki–laki yang layak disebut kekasih. Seorang ksatria sejati yang berani kalah dan mampu mengalahkan diriku sendiri.

Aku berada disebuah taman indah, yang aku sendiri menamainya Taman Seribu Taman. Di tempat yang indah ini aku temukan engkau bunga canti nan elok, bunga penuh pesona, bunga Ani Sri Rejeki.

~ Solo, 20 Oktober 2003 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar